Dari Rempang, Kita Di Paksa Untuk Diam



Kami Memang Tidak Berstatus Gelar Hukum, Tapi Kami Berstatus Masyarakat Hukum. 
Dari Sabang Ke Merauke Tidak Bersambung Tapi Di Sambung-Sambungkan Karena Berkat Suatu Fenomena. Begitu Juga Dalam Suatu Penulisan, Yang Tak Bersambung Akan Kita Sambungkan-Sambungkan Untuk Menciptakan Suatu Fenomena.
_Pesan Emak_

NAVIGASI-Duduk permasalahan perampasan hak tanah ulayat masyarakat Rempang hingga kini belum selesai. Upaya pemindahan penduduk ke lokasi yang baru oleh BP Batam dan pemerintah pusat belum mendapatkan kesepakatan secara utuh.

Dengan penuh keyakinan dan terus konsisten, warga Rempang tetap bertahan di kediaman mereka masing-masing. Sekalipun telah diketahui beberapa orang warga setuju untuk pindah dari kampungnya dan telah pindah. Namun kenyataan dan fakta yang mengatas namakan warga adat Rempang ini kemudian terbantahkan oleh warga Rempang itu sendiri.

Sebagai pengantar membuka tulisan yang amburadul ini: Islam mengajarkan kepada kita bagaimana kita harus bersikap diam. Namun Diam yang di maksud dalah Diam terhadap sesuatu hal yang tidak penting atau tidak baik apakah itu untuk menjelekkan orang lain, memfitnah, saling tuduh menuduh dan perkatan-perkataan yang tidak menambah iman dan taqwa kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.

Dalam sebuah hadist dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ,Rasululullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya:

"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah." (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47).


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfiman: 

وَلَا تَلۡبِسُوا الۡحَـقَّ بِالۡبَاطِلِ وَتَكۡتُمُوا الۡحَـقَّ وَاَنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ

"Dan janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilah dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya." (QS. Al-Baqarah:42).

Berangkat dari permasalahan Rempang, sejak awal kemunculan isu penolakan relokasi pada Mei lalu hingga berlanjut dengan adanya gerakan-gerakan pertahanan hak tanah adat dan berlanjut peyampaian aspirasi di muka umum melalui aksi unjuk rasa oleh masyarakat khususnya melayu Rempang, kebenaran-kebenaran sudah sangat tampak nyata dan dapat kita buktikan keberadaannya.

Kita katakan atas kebenaran itu tidaklah hanya sebatas perkataan saja (keputusan dan aspirasi), namun juga kebenaran atas beberapa tindakan atau aktivitas yang di lakukan oleh warga Rempang.

Sayangya, menyampaikan kebenaran di negeri kita ini tak selamanya mendapatkan dukungan baik oleh pemerintah maupun oleh penegak hukum, apalagi menyangkut kepentingan seseorang maupun kepentingan kelompok tertentu, yang dengan kebenaran itu dapat menganggu/menghambat/merugikan kepentingan orang atau kelompok tersebut.

Dengan fenomena seperti ini, dari beberapa pengalaman kejadian di Indonesia, siapapun yang dengan benar-benar telah menyampaikan kebenaran yang benar, dan dengan kebenaran itu ia tidak disenangi, maka dapat berdampak buruk terahdap dirinya apapun itu. Mulai dari cacian dan makian dari kelompok atau orang yang tidak suka, teror meneror, pemanggilan untuk diperiksa hingga tindakan penahanan.


"KEBENARAN 1"| HAK TANAH ULAYAT

Saya ingin memulainya dengan StatusTanah Ulayat bagi masyarakat Adat. Mengutip bait-perbait di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyebutkan secara terang bahwa, “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.

"Ini berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja."

"Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan Hak Ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara. 

"Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa tersebut tidak berarti, bahwa hak milik perseorangan atas (sebagian dari) bumi tidak dimungkinkan lagi. Di atas telah dikemukakan, bahwa hubungan itu adalah semacam hubungan hak ulayat, jadi bukan berarti hubungan milik."

“Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyata-annya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi."

Pertanyaannya, berdasarkan ketentuan di atas, apakah masyarakat Rempang telah menyampaikan Kebanaran? Jawabannya Iya. Sebagai masyarakat adat, Hak Ulayat atas warga telah telah di upayakan untuk di perjuangkan oleh warga Rempang dengan menyampaikan Kebenaran bahwa "Ini Tanah Nenek Moyang Kami".

Sudah seriuskah pemerintah membela dan memberikan keadilan serta perlidungan hukum untuk tanah ulayat?  UU ini telah menjawab dengan sendirinya. 

"Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri sering kali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat.

"Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika di dalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas daripada hubungannya dengan masyarakat-masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya di dalam lingkungan Negara sebagai kesatuan."

Sampai di sini sudah mulai  memahami? Pemerintah melalui undang-undang agraria ini mengakui keberadaan Tanah Ulayat dan Bahkan menempatkan pada posisi tertinggi keberadaannya. Pemerintah sangat sadar akan hal itu. Namun lucu dan aneh ketika ketika hak tersebut akan diperjuangkan dan di pertahankan oleh masyarakat aday,pengakuan itu kemudian di bantah oleh pemerintah itu sendiri dengan mengatakan belum adanya pengakuan secara resmi secara undang-undang.

Sleuruh masyarakat Indonesia sangat antusias dalam mendukung setiap pemabangunan negeri ini oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di antaranya ikut andil berpartisipasi dalam pembangunan. Namun lagi dan lagi, keberadaan Tanah Ulayat yang di atasnya ada masyarakat adat, tidak memiliki kekutan hukum yang mempertegas kepemilikannya. Kita lihat kembali apa yang di sampaikan UU agraria ini:

"Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya."

"Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum agraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi di dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di dalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan."

Pemerintah melalui UU ini mengakui bahwa salah satu faktor sering terhambatnya pembangunan ialah keberadaan tanah ulayat tersebut. Maka berkenaan dengan proyek Rempang Eco City, yang pembangunan tersebut merupakan kepentingan pemilik modal asing untuk berinvestasi di pulau Rempang, dengan pernyataan dua paragraf di atas menunjukkan adanya ketidak seriusan pemerintah dalam memberikan keadiland an kesejahteraan pada rakyatnya melalui hak tanah ulayat. Hal ini di sebabkan masih adanya "jalan" yang di berikan UU bagi setiap orang yang berkepentingan untuk menguasai dan memiliki Tanah Ulayat mikil masyarakat Adat.

Pertanyaannya, berdasarkan ketentuan di atas apakah masyarakat Rempang telah menyampaikan Kebanaran? Tidak benarkah apa yang di perjuangkan masyarakat adat Rempang terhadap keutuhan dan kemanan Tanah Ulayat mereka?


"KEBENARAN 2"| HAK ASASI MANUSIABERAT

Bukan untuk mengulang ingatan rasa sakit yang di rasakan oleh warga Rempang pada saat peristiwa yang saya sebut dengan peristiwa "Kamis Menangis" yang terjadi pada kamis, 7 September 2023 kemarin. Namun di karenakan ini adalah Kebenaran, patutlah untuk kita sampaikan.

Sekilas mengantarkan peristiwa itu, malam hari pada tanggal 6 September 2023 masyarakat Rempang mendapati sepucuk Surat Perintah Tugas dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota Batam yang di dalamnya berisikan perintah untuk pengamanan terkait Kegiatan Pemasangan Patok Tata Batas di wilayah Rempang. Perintah ini sbeleumnya atas dasar permintaan permohonan dukungan personil dan truk dari BP Batam.

Panik dan takut, dua perasaan yang bercampur aduk di rasakan warga Rempang malam ini. Ada kekecewaan yang sangat mendalam, pasalnya siang itu di tanggal 6 September 2023, warga Re,mpang baru saja selesai melaksanakan pertemuan dengan BP Batam dan di perkirakan BP Batam memahami dan menegrti yang menjadi aspirasi warga Rempang dengan harapan mengurungkan niat untuk mematok lahan di Rempang. Dan ternyata oh ternyata pada tanggal yang sama, BP Batam telah mengirimkan surat kepada Satpol PP Batam terkait perihal di atas tersebut.

Singkatnya warga berupaya untuk saling menjalin komunikasi dan berkoordinasi dengan 16 kampung lainnya. Bahkan ada yang rela tidak tidur sejak malam karena khawatir akan adanya pemasangan dan penggusuran secara tiba-tiba. Sehingga warga dengan insiatif memblokade jalan masuk res areake Rempang dengan maksud agar petugas tidak masuk kelahan yang akan di lakukan pamtokan batas tersebut.

Jika ada yang bertanya mengapa menggunakan blokade? jawabannya sederhana, karena masyarakat rempang bukanlah kompi dari Polri dan TNI. Mereka tidak memiliki senjata dan alat pertahanan sebagaimana yang di miliki oleh Polri d an TNI. sehingga dengan kemampuan seadanya, hanya blokadelah yang mampu di lakukan warga Rempang.

Apakah mereka meletakkan mobil atau truk anti peluru di pintu masuk res area? apakah mereka memasang ranjau darat atau alat peledak sejenisnya di setiap jalan? apakah mereka menggunkaan senjata api lalu berjejer berdiri mengahdap pintu masuk? jawabannya, tidak.

Perntanyaannya, apakah yang di lakukan oleh warga Rempang itu suatu Kebenaran? jawabannya. sehingga pula masyarakat harus kembali sedih dan kecewa sebab hari itu, masyarakat menyaksikan dengan mata telanjang serbuan gas air mata, merasakan tembakan semprotan air dan kisruh bentrok warga dengan aparat keamanan yang terdiri dari 1.010 personil dengan aprat gabungan dari Satpol PP, Ditpam, Polda Kepri, Sat Brimob Polda Kepri, Polresta Barelang, TNI AD dan TNI AL.

Ada yang terluka berceceran darah, ada yang sesak nafas, anak-anak dan guru berhamburan lari keluar dari gedung sekolah karena ketakutan, anak-anak dan orang tua menangis, anak anak dan orang tua terkena gas air mata, anak-anak dan orang tua menjadi histeris dan anak-anak serta orang tua menajdi korban represif aparat kemanan.

Perntanyaanya, apakah warga kemudian berlari kerumah mengambil parang, celurit atau senjata tajam lainnya untuk kembali melawan aparat? faktanya tidak. dari kejadian itu, setidaknya sebanyak 8 orang di amankan aparat dan di tahan di Mapolresta Barelang dan di tetapkan sebagai tersangka.

Jika di pertanyakan mengapa warga sedemikiannya mempertahankan Tanah Ulayat mereka hingga memblokade jalan masuk wilayah Rempang? maka jawabannya adalah karena mereka tidak menyepakati adanya relokasi dan pemindahan penduduk Rempang ketempat yang baru. Dengan di pasangnya tanda batas lahan tersbeut, maka secara otomatis lokasi, tanah, rumah atau tempat masyarakat Rempang tinggal telah berhasil di ukur yang selanjutnya nanti untuk di serahkan kepada pengembang yakni PT MEG demi memenuhi nafsu investor asing yakni Xinyi.

Pertanyaannya, pakah yang di lakukan warga Rempang tersebut di atas (mempertahankan hak tanah ulayat, menolak untuk di lakukan pengukuran atau pematokan lahan, menolak kampung mereka di kosongkan dan menolak untuk di relokasi) adalah Kebenaran? 

Apakah salah jika masyarakat kemudian berkata bahwa kejadian "Kamis Menangis" adalah pelanggaran HAM Berat? maka jawabannya ada di dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM Pasal 9 Poin D yang berbunyi: "Pengusiran Atau Pemindahan Penduduk Secara Paksa" adalah masuk dalam kategori Pelanggaran HAM Berat.

apakah masyarakat terpaksa? dan apa sebenarnya pemaksaan itu?

Jika kita lihat secacra teliti kejadian ini sejak dari semula, maka secara jelas ini adalah Pemaksaan. Karena Pemaksaan akan terjadi dalam keadaan dan kondisi serta situasi ketika antara dua pihak atau lebih tidak atau belum mendapatkan kesepakatan bersama terhadap satu keputusan sedangkan di antara pihak tersebut memutuskan secara sepihak dan membuat kebijakan serta melakukan tindakan-tindakan yang merugikan pihak lainnya.

Namun ini kemudian di bantah oleh pemerintah. Bantahan ini di sampaikan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia. Menurut Bahlil tidak ada Penggsuran dan Relokasi, yang ada hanyalah Pergeseran.

Pernyataan yang ia sampaikan berdasarkan hasil rapat terbatas di istana kepresidenan ini pada Senin, 25 September 2023, sangat membuat saya menggelitik. Hanya dengan merubah penggunaan istilah dari "Penggusuran dan Relokasi" menjadi "Pergeseran". Bahlil berdalih bahwa yang namanya Relokasi itu ketika warga di pindahkan dari Pulau A ke Pulau B. Padahal secara arti bahasa saja, Relokasi adalah Pemindahan Tempat.

Pertanyaannya, apakah "Pergeseran" itu tidak berpindah tempat? padahal yang namanya "bergeser" itu pasti keluar dari posisi asalnya. Maka fakta Pergeseran adalah Pemindahan Tempat dan Relokasi adalah Pemindahan Tempat, lalau apa bedanya di relokasi dan di geserkan? lagi-lagi, membuat saya dan mungkin kita semua menggelitik dengan pembelaan pemerintah ini.


"KEBENARAN 3"| HAK MEYAMPAIKAN PENDAPAT

Kalau untuk hak menyampaikan aspirasi, saya pikir tidak perlu lagi saya banyak berbicara dalam kesempatan ini. Setiap individu masyarakat mengetahui, memahami dan menyadari bahwa siapapun memiliki hak untuk meyampaiikan aspirasi.

Namun pula pada momen ini, sekiranya perlu kita urai sedikit tentang hak menyampaikan aspirasi oleh masyarakat khususnya warga Rempang.

Menyampaikan aspirasi merupakan salah satu usaha atau langkah seseorang maupun kelompok untuk memberikan pendapat, saran, kritikan maupun penawaran solusi terhadap suatu kebijakan ataupun tindakan secara lisan maupun tertulis dan terbuka kepada pihak tertentu, hal ini juga disebut dengan menyampaikan pendapat di muka umum. Sebagai timbal baliknya adalah penyampaian aspirasi haruslah di dengar oleh pihak yang tertuju.

Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat".

Menjadi pertimbangan di dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Meyampaikan Pendapat Di Muka UMUM bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. dan Bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Di dalam Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa "Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Sebenarnya ini jalan kemundahan bagi siapapun yang hidup di negara Kesatuan Republik Indonesia ini sebagai landasan acuan untuk mengemukakan pendapat di muka umum. Namun sayangnya, lagi dan lagi tidak semua pihak menerima dengan senang dan menyukai setiap pendapat yang kita sampaikan. memberikan batasan-batasan dalam menyampaikan pendapat itu hal yang sangat panats dan sebuah keseharusan, namun demikian ketika batas-batas itu tidak memberikan kepastian hukum yang jelas dan kongkrit, ini yang justru menjadi masalah.

Sebelum saya lanjutkan lebih jauh perlu kita sepakati dan sadari bersama bahwa saat ini perkembangan teknologi informasi dan dunia digitalisasi sudah sangat berkembang pesat dan sangat memudahkan bagi siapapun untuk berekspresi termasuk menyampaikan kritikan terhadap suatu kebijakan publik. 

Namun hal ini pula terkadang di manfaatkan oleh sebagian orang atau kelompokyang tidak bertanggungjawab untuk menyampaikan aspirasi dengan tidak memandang kebenaran seperti menyampaikan ujaran kebencian, menghina, asu sila dan lain sebagainya.

Berdasarkan perkembangan ini pula kemudian pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Traksaksi Elektronik.

Sekali algi, batasan tertentu yang di buat oleh pemerintah untuk menghindari keburukan sangatlah penting. Namun perlu pula untuk ktia ketahui batasan seperti apa dan bagaimana batasan itu di berlakukan.

Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh sesuatu hal. yang maksudnya terang supaya hal itu di ketahui umum, di ancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratur rupiah". Ini untuk menyampaikan secara lisan.

Pada ayat (2) nya menyebutkan "Jika hal itu di lakukan dengan tulisan atau gambaran yang di siarkan, di pertunjukkan atau di tempelkan di muka umum, maka di ancam karena pencemaran tertulis dengan pidana paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Di karenakan ayat-ayat mengenai pencemaran ini menjadi acuan bagi UU ITE, maka perlu sejenak kita Kita beralih ke UU ITE. Kalau KUHP secara langsung, maka ini secara elektronik.

Di dalam pasal 45 ayat (3) UU ITE menyebutkan "Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pertanyaan mendasar yang di pertanyakan sejak kemunculan UU ITE ini adalah, Apa tolak ukur yang di sebut "Pencemaran Nama Baik" dan "Penghinaan" tersebut? Bagaimana jika penyampaian pendapat baik secara lisan maupun tulisan hal itu merupakan suatu kebenaran? ini hanya pertanyaan liar kecil dari sekian banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang membingungkan masyarakat. Hal ini pula mengapa UU ITE di sebut sebagai UU yang beriikan "Pasal Karet". Kok bisa? berikut kitauraikan singkat dan jelas.

Jika pasal "Pencemaran Nama Baik" itu di jadikan sebagai landasasan untuk menjatuhkan Pidana terhadap seseorang atau kelompok, maka dapat kita pastikan pihak tersebut sudah memiliki dan menciptakan"Nama Baik" nya sendiri di masyarakat. Namun jika yang di sampaikan adalah kebenaran, apakah ini tetap di berlakukan?

contoh: misalnya misalnya terdapat kasus-kasus pidana yang terjadi seperti korupsi, asu sila. SARA, intimidasi, pembunuhan, pemerkosaan, pencurian dan beberapa kasus pidana lainnya, lalu tindakan si pelaku yang sudah menjadi tersangka atau mungkin sudah di nyatakan bebas, oleh seseorang atau kelompok tertentu di informasikan kembali kepada masyarakat luas sebagai bentuk tujuan menyampaikan kehati-hatian, peringatan ataupun infromasi dan edukasi, akan di kenakan pasal pencemaran nama baik? padahal itu kebenaran.

satu contoh di atas akan membawa kita kedalam satu pemahaman bahwa Delik hukum pencemaran nama baik sebagaimana yang di atur di dalam pasal 310 KUHP dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 45 UU nomor 19 tahun 2016 adalah Delik Aduan. Artinya hal ini akan di proses jika terdapat aduan dari orang atau kelompok yang merasa jadi korban. Hanya korbanlah yang dapat memprosesnya ke polisi. Bukan asal proses dan asal tangkap oleh kepolisian, sekalipun itu benar adalah mencemarkan nama baik seseorang.

Pertanyaannya, bagaimana jika yang di cemarkan nama baik tersebut adalah menyebutkan atau tertuju kepada suatu lembaga atau status kedudukan dan jabatan?

misalnya mengatakan presiden tidak becus, presiden tidak demokratis, presiden otoriter, atau dalam kasus rempang ini mengatakan BP Batam tidak mempunyai hati nurani, BP Batam otoriter, BP tidak harmonis, BP Batam Pemaksaan, BP Batam tidak adil, DPRD Batam tidak melindungi warga, DPRD/menteri/presiden/BP Batam/Pemkot Batam kong kalikong dengan cukong yang berkekepentingan di Rempang dan lain sebagainya ini, pakah bisa di kenakan pasal Pencemaran Nama Baik?

Jika Korban dapat merasa dirinya dan namanya tercemar, artinya ada suatu perasaan yang korban rasakankarena  tidak senang, terganggu, tidak setuju atau tidak pantas yang disampaikan oleh pelaku terhadapnya. Sehingga ia merasakan bahwa tidnakan tersebut telah mencemarkan nama baiknya, lalu ia pun melaporkan kepihak berwajib.dengan kata lain, si korban hidup, berpikir, ada dan berperasaan.

Maka berangkat dari perihal ini, logika sederhanya bagaimana munkgin pasal ini dapat di kenakan kepada lembaga atau status kedudukan? memang benar lembaga terdapat orang-orang di dalamnya dan status kedudukan atau jabatan terdapat seseorang yang mendudukinya dan berhak atas jabatan tersebut.

Namun lagi dan lagi kita mempertanyakan, kalau begitu apakah presiden punya perasaan? apakah DPRD Batam msialnya punya perasaan? apakah menteri punya perasaan? apakah gubernur punya perasaan? sedangkan jabatan, kedudukan maupun lembaga bukanlah manusia sebagaimana manusia yang memiliki perasaan untuk merasakan sesuatu entah iturasa di puji ataupun rasa di hina.

Presiden adalah status jabatan tertinggi, MPR misalnya juga status lembaga tertinggi dengankan Rakyat adalah status kekausaan tertinggi. nah jika kita kaitkan dengan orang-orang yang menduduki jabatan tersebut, maka Presiden RI saat ini adalah Joko Widodo.

Joko Widodo status jabatannya sebagai presiden yang berkedudukan di lembaga kepresidenan. maka yang punya perasaan dan dapat merasakan sesuatu itu adalah Joko Widodo sebagai orang/manusia bukan statusnya. Begitu juga dengan kepala BP Batam misalnya, Muhammad Rudi, yang punya perasaan itu muhammad Rudi, bukan BP Batamnya.

maka aneh dan lucu jadinya jika terdapat penyempaian sekalipun itu benar ujaran kebencian, namun tertuju terhadap suatu lembaga dan status jabatan atau kedudukan lalau di laporkan atau di perkarakan ke polisi. apakah BP datang datang kepolisis lalu membua laporan? apakah MPR, DPRD, menteri atau bahkan presiden datang ke polisi juga buat laporan? akal sehat ku tidak dapat mencerna ini.

tunjukkan bentuk dari lemba-lembaga atau kedudukan atau jabatan diatas dengan wujud yang berbentuk. kan tidak mungkin, sangat konyol dan itu mustahil untuk di lakukan. Karena hakikatnya lembaga atau kedudukan atau jabatan itu tidaklah berbentuk, apalagi berperasaan sebagaimana manusia. ia berbicara? tidak. ia berjalan? tidak. ia punya jantung? juga tidak.

Saya kira penting sematan ini di perhatikan oleh penegak hukum. karena ini pula menjadi celah untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka atau tidak.

Maka sebagai penutup mengakhiri tulisan ini, kami berpesan dan mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakatRempang yang saat ini terdzolimi, sampaikanlah segala bentuk aspirasi dan kritikan apapun itu kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab akan permasalahan Rempang ini baik melalui sosial media konten atau tulisan maupun secara langsung.

Jangan takut hanya karena beberapa orang warga di tangkap dan di tahan pihak kepolisian di Batam. Jangan takut dan dan jangan mundur hanya karena jeratan dan jebakan peraturan perundang-undangan.

Selagi yang di sampaikan adalah kebenaran, dapat di buktikan, sesuai keadaan, sesuai kondisi, sesuai yang di rasakan, sesuai data, sesuai fakta, serta di sampaikan secara baik dan tepat, maka sampaikanlah.

terlalu banyak jebakan-jebakan dalam hidup ini yang terkadang secara tidak kita sadari terjebak dengan sendirinya. Maka, cukuplah terjebak dalam jebakan hidup, jangan terjebak dalam jebakan peraturan perundang-undangan.

Saat ini peraturan perundang undangan secara tidak langsung memaksa masyarakat untuk diam, di diamkan dan terdiam.

saya pikir cukup sekian dulu bual-bualnya hari ini, dari sedikit penyampian diatas, semoga dapat menajdi pencerahan bagi ktia semua. 

pendawai: Dion




Post a Comment

budayakan membaca hingga selesai dan tuntas. Diharapkan untuk memberikan komentar berupa pendapat, sanggahan, saran, dan nasihat dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan beradab agar tidak salah paham serta multi tafsir. Terimakasih sudah mengunjungi blog kami.

Previous Post Next Post