Perguruan Tinggi Korban Kementerian | Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual


Tulang Tetaplah Tulang,
Daging Tetaplah Daging.
Jangan Sesekali Mengambil Alih Fungsi. karena itu Menjadikannya Celaka
_Pesan Emak_

NAVIASI-Tindak kekerasan seksual di dalam tubuh perguruan tinggi semakin menjadi-jadi. Beragam bentuk jenis dan macam tindakannya, baik verbal, visual maupun secara fisik.

Perguruan tinggi melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi telah mendapatkan amanah yang menurut saya adalah justru beban baru bagi pimpinan perguruan tinggi.

Amanah ini ialah tentang peraturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi yang di keluarkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021.

Sejak kemunculan peraturan tersebut, saya prihatian dengan beberapa kondisi yanh berdasarkan hemat pandangan saya, ini adalah kekeliruan:

1. Berdasarkan tugas dan fungsinya, Kemendikbudristek, mestinya tidak memiliki dan tidak di berikan kapasitas untuk melaksanakan tugas pencegahan seksual. Penguatan ilmu pengetahuan dan moral, adalah pendidikan yang patut untuk di laksanakan oleh kementerian ini.
2. Persoalan kekerasan seksual, dari sisi pelaksanaan penanganan dan pencegahan bagi korban, sejauh ini sudah terlaksana baik dan di laksanakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Memang dari sisi kelembagaan, kementerian ini dengan sengaja dan secara sadar telah di amanahkan untuk mengurusi urusan kekerasan seksual secara khusus di berikan kapastitas yang tak di miliki kementerian lain. Penting dan strategisnya permasalahan ini, sehingga di bentuklah dinas-dinas di tingkat daerah baik itu DP3AP2KB, KPPAD hingga UPTD PPA. Nah di sini, saya menilai bahwa adanya Tim Satuan Tugas Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tingkat Perguruan Tinggi hanya sebatas membentuk lawanan komunitas-komunitas di tingkat pemerintahan.
3. Tim Satgas PPKS selain tidak berkapasiitas secara aspek penanganan korban juga dari aspek hukum. Maka dari itu, justru kehadiran peraturan ini seakan-akan menambahkan satu "pintu" bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penindakan. Aparat Penegak Hukum terbatas geraknya hanya karena menunggu dan menunggu laporan dari satgas. Mengapa? Ada selatan kekuasaan dan kewenangan.
4. Pimpinan perguruan tinggi dapat memberikan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis hingga pemecatan kepada pelaku tindak kekerasan seksual di kampusnya baik oleh mahasiswa, dosen maupun staf perguruan tinggi. Bagi saya, kekerasan seksual adalah tindak perilaku berat yang patut di hukum lebih dari itu. Maka ini adalah lelucon ya g tak seharusnya hidup di dunia perguruan tinggi.
5. Tanpa di sadari, tim satgas melaksanakan pengumpulan bukti-bukti, introgasi dan bahkan rekomendasi sanksi yang di tujukan kelak pada pimpinan perguruan tinggi. Pertanyaan sederhana saya adalah, siapa sebenarnya tim satgas ini? Tim yang terdiri dari akademisi dan juga mahasiswa seolah-olah bak penegak hukum yang sedang melaksanakan penyidikan dan penyelidikan. Sungguh ini penyebab kekacauan. Bagi saya, ini justru saling melemahkan.

Kita semuanya dapat membayangkan bagaimana jadinya jika suatu tindak pidana tidak di tangani oleh ahlinya?

Pelaku akan berkeliaran dan semakin bertumbuh subur, korban semakin stres dan berdampak buruk baik pada psikisnya maupun fisiknya.

Kampus UMRAH Tanjungpinang dapat menjadi contoh nyata. Sudah beberapa kali terulang isu oleh media berita online yang mengabarkan bahwa terjadi dugaan kasus kekerasan seksual oleh dosen. Kemana isu ini dan bagaimana kabarnya hingga saat ini? Haruskah menunggu kembali muncul seperti belakangan ini?

Sekelas Kapolresta Tanjungpinang saja, tidak dapat melakukan tindakan yang seharusnya terhadap isu ini karena berlandaskan belum adanya laporan baik oleh kampus maupun korban.

 Jadi hemat saya dalam uraian ini, evaluasi bagi keberadaan Tim satgas PPKS dan Peraturan Kemendikbudristek  untuk perguruan tinggi.

Sekalipun pengecaman itu di laksanakan secara brutal oleh mahasiswa, akan pulang dengan hasil yang nihil jika:
1. Kekerasan seksual di tangani secara semi kelembagaannya, tidak sebagaimana oleh  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau dinas-dinas berkaitan
2. Dugaan maupun fakta tidak di tangani oleh aparat penegak hukum

Fungsi strategis apa kedudukan PPKS? Kalau hanya sekedar Sosialisasi kekerasan seksual, cukup di programkan oleh organisasi mahasiswa tingkat universitas, fakultas maupun jurusan. Itu bahkan sudah lebih dari cukup, bahkan bisa lebih masif.

Salam pendidikan sehat

Post a Comment

budayakan membaca hingga selesai dan tuntas. Diharapkan untuk memberikan komentar berupa pendapat, sanggahan, saran, dan nasihat dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan beradab agar tidak salah paham serta multi tafsir. Terimakasih sudah mengunjungi blog kami.

Previous Post Next Post